Sabtu, 12 November 2011

masalah obesitas dengan hipertensi

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obesitas adalah kondisi kelebihan lemak, baik di seluruh tubuh atau terlokalisasi pada bagian bagian tertentu. Obesitas merupakan peningkatan total lemak tubuh, yaitu apabila ditemukan kelebihan berat badan >20% pada pria dan >25% pada wanita karena lemak. Obesitas adalah suatu masalah kesehatan masyarakat yang sangat serius di seluruh dunia karena berperan dalam meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Prevalensi obesitas meningkat di setiap negara. Sebagai contoh, di Amerika Serikat prevalensi meningkat dari 12% pada tahun 1991 menjadi 17,8% pada tahun 1998. Penelitian Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) mendapatkan angka prevalensi obesitas pada wanita (11,02%) lebih besar daripada pria (9,16%). Obesitas meningkat di setiap negara, pada setiap jenis kelamin, dan pada semua kelompok usia, ras, dan tingkat pendidikan. Obesitas merupakan faktor resiko dari berbagai penyakit antara lain Diabetes mellitus , dislipidemia, dan hipertensi yang akan menimbulkan peningkatan penyakit jantung koroner (Hariadi, Arsad Rahim Ali, 2005).
Tekanan darah akan meningkat seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Peningkatan tekanan darah tersebut akan lebih besar pada individu dengan riwayat keluarga hipertensi, kelebihan berat badan, dan mempunyai ecenderungan stress emosional yang tinggi (Septrianawati, 2008). Berbagai penelitian epidemiologik telah membuktikan adanya hubungan yang kuat antara obesitas dan hipertensi. Data yang diperoleh dari NHANES pada populasi orang Amerika Serikat memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan linier antara kenaikan rasio lingkar pinggang dan pinggul dengan tekanan darah sistolik dan diastolik serta tekanan nadi. Farmingham study (2007) melaporkan risiko terjadinya hipertensi sebesar 65% pada wanita dan 78% pada laki-laki berhubungan langsung dengan obesitas dan kelebihan berat badan. Pada individu obese jumlah darah yang beredar akan meningkat, cardiac output akan naik, sehingga tekanan darah akan naik. Ada banyak faktor risiko hipertensi, beberapa di antaranya dapat dikendalikan dan dikontrol. Umur, jenis kelamin dan genetis merupakan factor resiko yang tidak dapat dikontrol. Sementara obesitas, kurang olahraga, merokok, dan stress emosional merupakan faktor resiko yang dapat dikontrol (Septrianawati, 2008).

1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara obesitas dengan tekanan darah tinggi (Hipertensi) ?

1.3 Tujuan
Untuk menunjukkan hubungan antara obesitas dan terjadinya hipertensi

1.4 Manfaat
Memberikan informasi adanya hubungan antara obesitas dan terjadinya hipertensi

BAB II
ISI & PEMBAHASAN

2.1. Obesitas
2.1.1. Definisi dan Kriteria Obesitas
Obesitas didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara berlebihan.
Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada umumnya digunakan:
a. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar dan disebut obesitas bila BB > 120% BB standar.
b. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB). Dikatakan obesitas bila BB/TB > persentile ke 95 atau > 120% 6 atau Z-score = + 2 SD.
c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan kulit/TLK). Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps > persentil ke 85. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri dsb. yang tidak digunakan pada anak karena sulit dan tidak praktis. DXA adalah metode yang paling akurat, tetapi tidak praktis untuk dilapangan.
e. Indeks Massa Tubuh (IMT), > persentil ke 95 sebagai indikator obesitas.

Cara lain untuk mengetahui distribusi lemak tubuh adalah dengan cara melihat bentuk tubuh. Terdapat 3 macam bentuk tubuh berdasarkan karakteristik distribusi lemak

Gynoid (Bentuk Pear)
Lemak disimpan di sekitar pinggul dan bokong Tipe ini cenderung dimiliki wanita. Resiko terhadap penyakit pada tipe gynoid umumnya kecil, kecuali resiko terhadap penyakit arthritis dan varises vena (varicose veins).

Apple Shape (Android)
Biasanya terdapat pada pria. dimana lemak tertumpuk di sekitar perut. Resiko kesehatan pada tipe ini lebih tinggi dibandingkan dengan tipe Gynoid, karena sel-sel lemak di sekitar perut lebih siap melepaskan lemaknya ke dalam pembuluh darah dibandingkan dengan sel-sel lemak di tempat lain. Lemak yang masuk ke dalam pembuluh darah dapat menyebabkan penyempitan arteri (hipertensi), diabetes, penyakit gallbladder, stroke, dan jenis kanker tertentu (payudara dan endometrium).
Melihat hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang pria kurus dengan perut gendut lebih beresiko dibandingkan dengan pria yang lebih gemuk dengan perut lebih kecil.

Ovid (Bentuk Kotak Buah)
Ciri dari tipe ini adalah "besar di seluruh bagian badan". Tipe Ovid umumnya terdapat pada orang-orang yang gemuk secara genetik.

2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Obesitas
• Genetik
Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya pada generasi berikutnya di
dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk
cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula. Dalam hal ini nampaknya faktor
genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah unsur sel lemak dalam tubuh. Hal
ini dimungkinkan karena pada saat ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak
yang berjumlah besar dan melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan
kepada sang bayi selama dalam kandungan. Maka tidak heranlah bila bayi yang lahirpun
memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar.

• Kerusakan Pada Salah Satu Bagian Otak
Sistem pengontrol yang mengatur perilaku makan terletak pada suatu bagian otak yang
disebut hipotalamus –sebuah kumpulan inti sel dalam otak yang langsung berhubungan
dengan bagian-bagian lain dari otak dan kelenjar dibawah otak. Hipotalamus
mengandung lebih banyak pembuluh darah dari daerah lain pada otak, sehingga lebih
mudah dipengaruhi oleh unsur kimiawi dari darah.
Dua bagian hipotalamus yang mempengaruhi penyerapan makan yaitu hipotalamus
lateral (HL) yang menggerakan nafsu makan (awal atau pusat makan); hipotalamus
ventromedial (HVM) yang bertugas merintangi nafsu makan (pemberhentian atau pusat
kenyang). Dari hasil penelitian didapatkan bahwa bila HL rusak/hancur maka individu
menolak untuk makan atau minum, dan akan mati kecuali bila dipaksa diberi makan dan
minum (diberi infus). Sedangkan bila kerusakan terjadi pada bagian HVM maka
seseorang akan menjadi rakus dan kegemukan.
• Pola Makan Berlebihan
Orang yang kegemukan lebih responsif dibanding dengan orang berberat badan normal
terhadap isyarat lapar eksternal, seperti rasa dan bau makanan, atau saatnya waktu
makan. Orang yang gemuk cenderung makan bila ia merasa ingin makan, bukan makan
pada saat ia lapar. Pola makan berlebih inilah yang menyebabkan mereka sulit untuk
keluar dari kegemukan jika sang individu tidak memiliki kontrol diri dan motivasi yang
kuat untuk mengurangi berat badan.

• Kurang Gerak/Olahraga
Tingkat pengeluaran energi tubuh sangat peka terhadap pengendalian berat tubuh.
Pengeluaran energi tergantung dari dua faktor : 1) tingkat aktivitas dan olah raga secara
umum; 2) angka metabolisme basal atau tingkat energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan fungsi minimal tubuh. Dari kedua faktor tersebut metabolisme basal
memiliki tanggung jawab dua pertiga dari pengeluaran energi orang normal.
Meski aktivitas fisik hanya mempengaruhi satu pertiga pengeluaran energi seseorang
dengan berat normal, tapi bagi orang yang memiliki kelebihan berat badan aktivitas fisik
memiliki peran yang sangat penting. Pada saat berolahraga kalori terbakar, makin banyak berolahraga maka semakin banyak kalori yang hilang. Kalori secara tidak langsung
mempengaruhi sistem metabolisme basal. Orang yang duduk bekerja seharian akan
mengalami penurunn metabolisme basal tubuhnya. Kekurangan aktifitas gerak akan
menyebabkan suatu siklus yang hebat, obesitas membuat kegiatan olah raga menjadi
sangat sulit dan kurang dapat dinikmati dan kurangnya olah raga secara tidak langsung
akan mempengaruhi turunnya metabolisme basal tubuh orang tersebut. Jadi olah raga
sangat penting dalam penurunan berat badan tidak saja karena dapat membakar kalori,
melainkan juga karena dapat membantu mengatur berfungsinya metabolis normal.

• Pengaruh Emosional
Sebuah pandangan populer adalah bahwa obesitas bermula dari masalah emosional yang
tidak teratasi. Orang-orang gemuk haus akan cinta kasih, seperti anak-anak makanan
dianggap sebagai simbol kasih sayang ibu, atau kelebihan makan adalah sebagai subtitusi
untuk pengganti kepuasan lain yang tidak tercapai dalam kehidupannya. Walaupun
penjelasan demikian cocok pada beberapa kasus, namun sebagian orang yang kelebihan
berat badan tidaklah lebih terganggu secara psikologis dibandingkan dengan orang yang
memiliki berat badan normal. Meski banyak pendapat yang mengatakan bahwa 0rang
gemuk biasanya tidak bahagia, namun sebenarnya ketidakbahagiaan /tekanan batinnya
lebih diakibatkan sebagai hasil dari kegemukannya. Hal tersebut karena dalam suatu
masyarakat seringkali tubuh kurus disamakan dengan kecantikan, sehingga orang gemuk
cenderung malu dengan penampilannya dan kesulitannya mengendalikan diri terutama
dalam hal yang berhubungan dengan perilaku makan.
Orang gemuk seringkali mengatakan bahwa mereka cenderung makan lebih banyak apa
bila mereka tegang atau cemas, dan eksperimen membuktikan kebenarannya. Orang
gemuk makan lebih banyak dalam suatu situasi yang sangat mencekam; orang dengan
berat badan yang normal makan dalam situasi yang kurang mencekam (McKenna,1999).
Dalam suatu studi yang dilakukan White (1977) pada kelompok orang dengan berat
badan berlebih dan kelompok orang dengan berat badan yang kurang, dengan menyajikan
kripik (makanan ringan) setelah mereka menyaksikan empat jenis film yang mengundang
emosi yang berbeda, yaitu film yang tegang, ceria, merangsang gairah seksual dan sebuah
ceramah yang membosankan. Pada orang gemuk didapatkan bahwa mereka lebih banyak
menghabiskan kripik setelah menyaksikan film yang tegang dibanding setelah menonton
film yang membosannkan. Sedangkan pada orang dengan berat badan kurang selera
makan kripik tetap sama setelah menonton film yang tegang maupun film yang
membosankan.

• Lingkungan
Faktor lingkungan ternyata juga mempengaruhi seseorang untuk menjadi gemuk. Jika
seseroang dibesarkan dalam lingkungan yang menganggap gemuk adalah simbol
kemakmuran dan keindahan maka orang tersebut akan cenderung untuk menjadi gemuk.
Selama pandangan tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal maka orang yang
obesitas tidak akan mengalami masalah-masalah psikologis sehubungan dengan
kegemukan.

2.1.3. Komplikasi Obesitas
1. Hipertensi
Miller dkk. dalam penelitiannya mendapatkan adanya peningkatan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi Na dalam glomeruli, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi pula sekresi Na dalam glomeruli; dalam beberapa hal keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi Na dalam darah yang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, yang menyebabkan hipertensi.

2. Diabetes Mellitus
Penderita obesitas sering mengalami hiperglikemi tetapi dalam keadaan hiperinsulinisme; keadaan ini mungkin karena adanya resistensi insulin yang meningkat atau kurang pekanya reseptor insulin terhadap adanya hiperglikemi. Ada pula yang mengatakan bahwa pada penderita obes diabetik, kelainan dasarnya adalah gangguan keseimbangan kinetik sekresi insulin. Sekresi insulin terlambat sehingga kadar glukosa darah tidak dapat dikontrol secara teratur dan terdapat peningkatan sekresi insulin sehingga cenderung terjadi hiperinsulinisme yang disertai dengan peningkatan resistensi insulin. Kecuali itu, hiperglikemi dan hiperinsulinemi dapat pula disebabkan oleh karena kualitas insulin yang abnormal, adanya produk/ hormon yang bersifat antagonis terhadap insulin atau berkurangnya jumlah reseptor yang sensitif pada membran sel.

3. Faktor Resiko Gagal Jantung
Sekalipun tanpa tekanan darah yang tinggi, obesitas sendiri sudah dapat mengakibatkan kelemahan otot jantung atau cardiomyopathy, sehingga mengganggu daya pompa jantung. Penelitian Framingham menunjukkan meningkatnya resiko kematian mendadak karena serangan jantung yang sangat mencolok baik pada pria ataupun wanita dengan obesitas. Wanita obesitas mempunyai resiko 13 kali lebih banyak mengalami kematian mendadak dan kesakitan dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas.

4. Stroke
Obesitas dan kelebihan berat badan akan mempengaruhi sistem sirkulasi darah. Obesitas juga menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan memiliki kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, dan diabetes, yang semuanya dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke.

5. Gangguan Pernapasan
Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak didaerah dinding dada dan perut yang mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan perubahan pola ventilasi paru serta meningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah yang menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi saluran nafas intermiten.

6. Nyeri Sendi/ Osteoartritis
Setiap peningkatan berat badan lebih dari normal akan menimbulkan beban yang berlebihan pada sendi penyangga berat badan, dan ini cenderung menyebabkan trauma ringan tetapi terus-menerus dan akan berakhir menjadi osteoartritis (OA) baik primer ataupun sekunder. Pengapuran dan bengkak sendi akan bertambah dengan bertambahnya usia atau memasuki masa menopause.

7. Batu Empedu
Pada obesitas dengan BMI diatas 30 didapatkan kecenderungan timbul batu empedu dua kali lipat dibandingkan orang normal; pada obesitas dengan BMI lebih dari 45, ditemukan angka 7 kali lipat.

8. Kanker
WHO memperkirakan obesitas dan hidup yang santai bertanggung jawab atas timbulnya kanker payudara, usus besar, endometrium, ginjal, dan esofagus. Di Inggris, 20-30 ribu kasus kanker per tahun terdapat pada kaum obesitas. Terbukti pula hubungan kuat antara obesitas dengan risiko timbulnya kanker pankreas, rahim, prostat, dan indung telu r.

9. Perlemakan Hati
Pada obesitas terjadi penurunan kadar adiponektin yang akan menyebabkan penurunan daya proteksi hati terhadap lemak sehingga terjadi resistensi insulin yang dinilai dari Homeostasis Model Assessment (HOMA). Adiponektin adalah faktor protektif untuk terjadinya penyakit perlemakan hati non alkohol pada obesitas.

2.2. Hipertensi
2.2.1. Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial , dimana sistol ≥ 140 mmHg dan
diastol ≥ 90 mmHg. Tekanan darah bergantung kepada :

1. Curah jantung
2. Tahanan perifer pada pembuluh darah
3. Volume atau isi darah yang bersirkulasi

Faktor utama dalam mengontrol tekanan arterial ialah output jantung dan tahanan perifer total. Bila output jantung (curah jantung) meningkat, tekanan darah arterial akan meningkat, kecuali jika pada waktu yang bersamaan tahanan perifer menurun. Tekanan darah akan meninggi bila salah satu faktor yang menentukan tekanan darah mengalami kenaikan ( Lumbantobing, 2008).
Tabel 2.1. Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII :
Kategori Tekanan darah systole Tekanan darah diastole
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg Prehypertension 120 – 139 mmHg 80 – 89 mmHg Hypertension stage 1 140 – 159 mmHg 90 – 99 mmHg Hypertension stage 2 ≥ 160 mmHg 100 mmHg 2.2.2. Etiologi Hipertensi Berdasarkan etiologinya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui peyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, sistem renin angiotensin, sistem saraf otonom, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti merokok, alkohol, obesitas, dan lain-lain (Lauralee, 2001). 2. Hipertensi sekunder, terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, misalnya a. Penyakit ginjal : glomerulonefritis akut, nefritis kronis, penyakit poliarteritis, diabetes nefropati, b. Penyakit endokrin : hipotiroid, hiperkalsemia, akromegali, c. koarktasio aorta, d. hipertensi pada kehamilan, e. kelainan neurologi, f. obat-obat dan zat-zat lain (Lauralee, 2001). 2.1.3. Patofisiologi Hipertensi Mengenai patofisiologi hipertensi masih banyak terdapat ketidakpastian. Sebagian kecil pasien (2% - 5%) menderita penyakit ginjal atau adrenal sebagai penyebab meningkatnya tekanan darah. Pada sisanya tidak dijumpai penyebabnya dan keadaan ini disebut hipertensi esensial. Beberapa mekanisme fisiologis terlibat dalam mempertahankan tekanan darah yang normal, dan gangguan pada mekanisme ini dapat menyebabkan terjadinya hipertensi esensial. Faktor yang telah banyak diteliti ialah : asupan garam, obesitas, resistensi terhadap insulin, sistem renin-angiotensin dan sistem saraf simpatis (Lumbantobing, 2008). Terjadinya hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1. Curah jantung dan tahanan perifer Mempertahankan tekanan darah yang normal bergantung kepada keseimbangan antara curah jantung dan tahanan vaskular perifer. Sebagian terbesar pasien dengan hipertensi esensial mempunyai curah jantung yang normal, namun tahanan perifernya meningkat. Tahanan perifer ditentukan bukan oleh arteri yang besar atau kapiler, melainkan oleh arteriola kecil, yang dindingnya mengandung sel otot polos. Kontraksi sel otot polos diduga berkaitan dengan peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler (Lumbantobing, 2008). Kontriksi otot polos berlangsung lama diduga menginduksi perubahan sruktural dengan penebalan dinding pembuluh darah arteriola, mungkin dimediasi oleh angiotensin, dan dapat mengakibatkan peningkatan tahanan perifer yang irreversible. Pada hipertensi yang sangat dini, tahanan perifer tidak meningkat dan peningkatan tekanan darah disebabkan oleh meningkatnya curah jantung, yang berkaitan dengan overaktivitas simpatis. Peningkatan tahanan peifer yang terjadi kemungkinan merupakan kompensasi untuk mencegah agar peningkatan tekanan tidak disebarluaskan ke jaringan pembuluh darah kapiler, yang akan dapat mengganggu homeostasis sel secara substansial (Lumbantobing, 2008). 2. Sistem renin-angiotensin Sistem renin-angiotensin mungkin merupakan sistem endokrin yang paling penting dalam mengontrol tekanan darah. Renin disekresi dari aparat juxtaglomerular ginjal sebagai jawaban terhadap kurang perfusi glomerular atau kurang asupan garam. Ia juga dilepas sebagai jawaban terhadap stimulasi dan sistem saraf simpatis (Lumbantobing, 2008). Renin bertanggung jawab mengkonversi substrat renin (angiotensinogen) menjadi angotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang kuat dan mengakibatkan peningkatan tekanan darah (Lumbantobing, 2008). 3. Sistem saraf otonom Stimulasi sistem saraf otonom dapat menyebabkan konstriksi arteriola dan dilatasi arteriola. Jadi sistem saraf otonom mempunyai peranan yang penting dalam mempertahankan tekanan darah yang normal. Ia juga mempunyai peranan penting dalam memediasi perubahan yang berlangsung singkat pada tekanan darah sebagai jawaban terhadap stres dan kerja fisik (Lumbantobing, 2008). 4. Peptida atrium natriuretik (atrial natriuretic peptide/ANP) ANP merupakan hormon yang diproduksi oleh atrium jantung sebagai jawaban terhadap peningkatan volum darah. Efeknya ialah meningkatkan ekskresi garam dan air dari ginjal, jadi sebagai semacam diuretik alamiah. Gangguan pada sistem ini dapat mengakibatkan retensi cairan dan hipertensi (Lumbantobing, 2008). 2.1.4. Faktor resiko hipertensi Hampir setengah abad yang lalu, Irvin H. Page yang terkenal dengan teori mosaic of hypertension menguraikan bahwa, hipertensi merupakan” penyakit pengaturan tekanan yang diakibatakan oleh multifaktorial” (Majid, 2005). Dengan kemajuan dalam penelitian mengenai hipertensi ternyata masih banyak lagi faktor yang berperan dalam mekanisme pengaturan tekanan darah yang belum termasuk dalam teori mosaic. Multifaktorial yang dihubungkan dengan patogenesis hipertensi primer yang terutama terdiri dari 3 elemen penting yaitu : 1. Faktor genetik 2. Rangsangan lingkungan : terutama asupan garam, stress dan obesitas 3. Adaptasi struktural yang membuat pembuluh darah dan jantung membutuhkan tekanan yang lebih tingi dari fungsi normalnya. Ketiga elemen ini saling terkait dimana pengaruh lingkungan yang berlebihan dibutuhkan untuk mencetuskan predisposisi genetik sedangkan perubahan struktural kadang-kadang dipercepat oleh faktor genetik (Majid, 2005). Pada fase awal, interaksi antara predisposisi genetik dan pengaruh lingkungan menyebabkan terjadi peningkatan cardiac output (CO) melebihi resistensi perifer. 1. Faktor genetik a. Peran faktor genetik dibuktikan dengan berbagai kenyataan yang dijumpai maupun dari penelitian, misalnya: - Kejadian hipertensi lebih banyak dijumpai pada penderita kembar monozigot dari pada heterozigot, apabila salah satu diantaranya menderita hipertensi. - Kejadian hipertensi primer dijumpai lebih tinggi 3,8 kali pada usia sebelum 50 tahun, pada seseorang yang mempunyai hubungan keluarga derajat pertama yang hipertensi sebelum usia 50 tahun. - Percobaan pada tikus golongan Japanese spontaneosly hypertensive rat (SHR) Dahl salt sensitive (DS) dan sal resistance (R) dan Milan hypertensive rat strain (MHS) menunjukkan bahwa dua turunan tikus tersebut mempunyai faktor genetik yang secara genetik diturunkan sebagai faktor penting timbulnya hipertensi, sedangkan turunan yang lain menunjukkan faktor kepekaan terhadap garam yang juga diturunkan secara genetik sebagai faktor utama timbulnya hipertensi (Majid, 2005). b. Faktor yang mungkin diturunkan secara genetik antara lain : defek transport Na pada membran sel, defek ekskresi natrium dan peningkatan aktivitas saraf simpatis yang merupakan respon terhadap stress (Majid, 2005). 2. Faktor lingkungan a. Keseimbangan garam Garam merupakan hal yang amat penting dalam patofisiologi hipertensi primer. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada golongan suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Apabila asupan garam kurang dari 3 gram perhari, prevalensi hipertensi beberapa persen saja, sedangkan apabila asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung GFR (glomerula filtrat rate) meningkat. Keadaan ini akan diikuti oleh peningkatan kelebihan ekskresi garam (pressure natriuresis) sehingga kembali kepada keadaan hemodinamik yang normal. Pada penderita hipertensi, mekanisme ini terganggu dimana pressure natriuresis mengalami “reset” dan dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengeksresikan natrium, disamping adanya faktor lain yang berpengaruh (Majid, 2005 b. Obesitas Banyak penyelidikan menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif diantara obesitas (terutama upper body obesity) dan hipertensi. Bagaimana mekanisme obesitas menyebabkan hipertensi masih belum jelas. Akhir-akhir ini ada pendapat yang menyatakan hubungan yang erat diantara obesitas, diabetes melitus tipe 2, hiperlipidemia dengan hipertensi melalui hiperinsulinemia (Majid, 2005). c. Stress Hubungan antara stress dan hipertensi primer diduga oleh aktivitas saraf simpatis (melalui cathecholamin maupun renin yang disebabkan oleh pengaruh cathecolamin) yang dapat meningkatkan tekanan darah yang intermittent. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menetap tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan dibuktikan, pemaparan terhadap stress membuat binatang tersebut hipertensi (Majid, 2005). d. Lain-lain Faktor-faktor lain yang diduga berperan dalam hipertensi primer rasio asupan garam, kalium, inaktivitas fisik, umur, jenis kelamin dan ras (Majid, 2005). 3. Adaptasi perubahan struktur pembuluh darah Perubahan adaptasi struktur kardiovaskular, timbul akibat tekanan darah yang meningkat secara kronis dan juga tergantung dari pengaruh trophic growth (angiotensin II dan growth hormon) (Majid, 2005). 2.3. Hubungan obesitas dengan terjadinya hipertensi : Obesitas dan Hipertensi Penelitian tahun 1959 menunjukkan adanya hubungan langsung antara hipertensi dengan berat badan yang berlebihan; penelitian Framingham juga menemukan adanya kenaikan tekanan darah pada dewasa muda yang mempunyai berat badan lebih, namun masih banyak diperlukan informasi untuk menjelaskannya. Selain itu beberapa penelitian epidemiologi telah membuktikan pula adanya hubungan yang linier antara obesitas dan hipertensi; hubungan kausalnya belum dapat diketahui dengan pasti, namun dalam pengamatan selanjutnya apabila penderita obesitas diturunkan berat badannya maka tekanan darahnya akan turun pula; oleh karena itu timbul beberapa teori yang dikemukakan mengenai adanya hubungan tersebut, diantaranya yaitu : 1. Mekanisme hemodinamik. Alexander dalam penelitiannya mendapatkan peningkatan volume darah sekuncup dan volume darah pada penderita obesitas bila dibandingkan dengan yang bukan obesitas. Juga terdapat peningkatan tahanan perifer pembuluh darah penderita obesitas normotensi bila dibandingkan dengan penderita yang bukan obesitas. Sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan volume sekuncup, volume darah dan peningkatan tahanan perifer memegang peranan penting dalam terjadinya hipertensi pada obesitas. 2. Aktivitas saraf simpatis James dkk. menemukan pada penderita wanita obesitas yang diturunkan berat badannya ternyata terjadi juga penurunan tekanan darah dan denyut jantung serta pada pemeriksaan urinenya terdapat peningkatan sisa-sisa metabolisme katekolamin yaitu : 4-hidroksi 3-metoksi mandelikasid, sehingga timbul pendapat bahwa peningkatan katekolamin merupakan akibat dari aktivitas saraf simpatis yang meningkat. 3. Endokrin Miller dkk. dalam penelitiannya mendapatkan adanya peningkatan kadar insulin dan aldosteron dalam plasma penderita obesitas. Aldosteron akan mengurangi ekskresi Na dalam glomeruli, begitu juga insulin pada percobaan binatang dengan jelas mengurangi pula sekresi Na dalam glomeruli; dalam beberapa hal keadaan ini diperkirakan juga terjadi pada manusia, sehingga adanya peningkatan insulin dan aldosteron akan menyebabkan retensi Na dalam darah yang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume darah, yang menyebabkan hipertensi. Timbulnya hipertensi pada obesitas adalah peningkatan volume plasma dan peningkatan curah jantung yang terjadi pada obesitas berhubungan dengan hiperinsulinemia, resistensi insulin dan sleep apnea syndrome, akan tetapi pada tahun-tahun terakhir ini terjadi pergeseran konsep, dimana diduga terjadi perubahan neuro-hormonal yang mendasari kelainan ini. Hal ini mungkin disebabkan karena kemajuan pengertian tentang obesitas yang berkembang pada tahun-tahun terakhir ini dengan ditemukannya leptin.  Leptin Leptin merupakan asam amino yang disekresi terutama oleh jaringan adipose. Fungsi utamanya adalah : • Pengaturan nafsu makan • pengeluaran energy tubuh melalui pengaturan pada susunan saraf pusat, • perangsangan saraf simpatis • meningkatkan sensitifitas insulin, natriuresis, diuresis dan angiogenesis. Normal leptin disekresi kedalam sirkulasi darah dalam kadar yang rendah, akan tetapi pada obesitas umumnya didapatkan peningkatan kadar leptin dan diduga peningkatan ini berhubungan dengan hiperinsulinemia melalui aksis adipoinsular. Pada penelitian perbanding an kadar leptin pada orang gemuk (IMT > 27) dan orang dengan berat badan normal (IMT < 27) didapatkan kadar leptin pada orang gemuk adalah lebih tinggi dibandingkan orang dengan berat badan
Hiperleptinemia ini mungkin terjadi karena adanya resistensi leptin. Beberapa teori menjelaskan resistensi leptin ini telah dikemukakan, diantaranya adalah karena adanya antibody terhadap leptin, peningkatan protein pengikat leptin sehingga leptin yang masuk ke otak berkurang, adanya kegagalan mekanisme transport pada tingkat reseptor untuk melewati sawar darah otak dan kegagalan mekanisme signal. Hal ini didukung oleh penelitian Villareal, dkk yang membandingkan efek leptin pada binatang percobaan dengan berat badan normal, obesitas dan hipertensi. Dimana didapatkan adanya kegagalan fungsi leptin pada obesitas dan hipertensi. Secara klinis efek resistensi leptin ini tergantung dari lokasi dan derajat keparahan resistensi tersebut.

BAB III
KESIMPULAN dan SARAN

3.1. Kesimpulan
Timbulnya hipertensi pada obesitas adalah peningkatan volume plasma dan peningkatan curah jantung yang terjadi pada obesitas berhubungan dengan hiperinsulinemia, resistensi insulin dan sleep apnea syndrome, akan tetapi pada tahun-tahun terakhir ini terjadi pergeseran konsep, dimana diduga terjadi perubahan neuro-hormonal yang mendasari kelainan ini. Hal ini mungkin disebabkan karena kemajuan pengertian tentang obesitas yang berkembang pada tahun-tahun terakhir ini dengan ditemukannya leptin. Pada obesitas terjadi resistensi leptin.

3.2. Saran
Adanya penelitian lebih lanjut mengenai hubungan obesitas berpengaruh terhadap hipertensi menggunakan mekanisme yang lebih jelas sehingga dapat diketahui faktor-faktor penyebabnya.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA


Anonimous. 2009. Hipertensi dan Obesitas. www.jantunghipertensi.com. Diakses pada tanggal 2 November jam 06.25 WIB.

Hariadi, Arsad Rahim Ali. 2005. Hubungan Obesitas Dengan Beberapa Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner di Laboraturium Klinik Prodia Makassar Tahun 2005. http://arali2008.files.wordpress.com/2008/09/obesitas-dan-jantung-koroner.pdf.Diakses pada tanggal 2 November 2011 pukul 16.15

Hermawan, Guntur. 1991. Komplikasi Obesitas dan Usaha Penanggulangannya. Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret : Surakarta. www.uns.ac.id. Diakses pada tanggal 2 November 2011 jam 06.20 WIB.

Hidayati, Siti Nurul dkk. -. Obesitas pada Anak. Divisi Nutrisi dan PenyakitMetabolik. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, FK Unair/RS.dr.Soetomo Surabaya.

Kamal et al. 2004. Obesity-Associated Hypertension. Jurnal Ilmiah (online). www.hypertensionaha.org. Diakses pada tanggal 2 November 2011 jam 15.30 WIB.

Mu’tadin, Zainun. 2002. Obesitas dan Faktor Penyebab. http://www.scribd.com/doc/4444732/Obesitas-dan-Faktor-Penyebab. diakses pada 2 November 2011.

Romadhona, Suci. 2009. Hubungan Kadar Adiponektin dengan Penyakit Perlemakan Hati Non Alkohol pada Remaja Obesitas. Universitas Diponegoro Semarang.

Septrianawati, Erlina. 2008. Hubungan Antara Obesitas dan Tekanan Darah Tinggi pada Ibu Rumah Tangga di Kelurahan Kartasura. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. http://etd.eprints.ums.ac.id/5910/1/J110070066.PDF. Diakses pada tanggal 2 November 2011 pukul 16.00

Rindiastuti, Yuyun. 2008. Proposal Skripsi Hubungan Lingkar Leher dan Lingkar Pinggang dengan Hipertensi. www.yuyunrindi.files.wordpress.com. Diakses pada tanggal 2 November 2011 jam 06.20 WIB.

masalah obesitas dengan PCOS

BAB I
1.1 Latar Belakang
Penyebab utama terjadinya PCOS adalah gangguan metabolism yakni resistensi insulin yang akan mempengaruhi kesehatan reproduksi wanita. Obesitas adalah tanda utama terjadinya resistensi insulin (Hadibroto, 2005) . Insiden obesitas pada wanita yang mengalami PCOS adalah 50-60%. Resistensi insulin adalah ketidakmampuan insulin untuk menjalankan fungsi fisiologisnya. Manifestasi dapat bersifat perifer (pada jaringan) atau sentral (pada liver) akibat berkurangnya kemampuan insulin untuk menurunkan gula darah (Wiweko, 2008).
Polycystic ovarium syndrome (PCOS) adalah penyebab paling umum dari ketidaksuburan wanita akibat tidak adanya ovulasi. PCOS merupakan masalah endokrinologi reproduksi yang sering dan menyebabkan 5-10% wanita pada usia reproduktif menjadi infertile (Hadibroto, 2005). Pada kenyataannya, wanita yang memiliki PCOS tidak akan mengetahuinya hingga penderita berusaha untuk dapat hamil tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda keberhasilan (HHS, 2008).
PCOS merupakan bukanlah penyakit tunggal tetapi penyakit dengan kumpulan gejala. Menurut Stein dan Leventhal (1935), PCOS merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri dari amenorrhea, haid yang tidak teratur, infertil, hirsuitisme dan obesitas. Menurut herslag (1996), wanita dengan siklus haid yang reguler dengan keadaan hiperandrogen dengan atau tanpa ovarium polikistik juga dapat menderita PCOS. Selain itu, beberapa penderita PCOS tanpa tanda-tanda klinis hiperandrogen tetapi mengalami disfungsi ovarium (Hadibroto, 2005). Diagnostic PCOS dapat ditegakkan bila 2 dari 3 kriteria PCOS telah terdiagnosa yaitu tanda-tanda hiperandrogen baik secara klinik maupun biokimia, menstruasi yang tidak teratur, dan kista pada ovarium (Hadibroto, 2005).
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan sehingga diketahui penyebab utama terjadinya PCOS, perlu adanya penanganan PCOS. Oleh karena itu, penulis ingin memperkaya pengetahuan terkait penatalaksanaan penderita PCOS dalam bidang ilmu gizi.

1.2 Rumusan Masalah
• Apa dasar penatalaksanaan PCOS?
• Bagaimana penatalaksanaan PCOS dalam bidang ilmu gizi?

1.3 Tujuan
• Mengetahui dasar penetapan penatalaksanaan PCOS
• Mengetahui penatalaksanaan PCOS dalam bidang ilmu gizi

BAB II
Obesitas adalah keadaan dimana terdapat penimbunan lemak berlebihan di dalam tubuh yang secara klinik biasanya dinyatakan dalam bentuk indeks masa tubuh (IMT > 30kg/m2). Untuk orang Asia , kriteria obesitas apabila IMT > 25 kg/m2 . Berbagai komplikasi obesitas erat hubungannya dengan obesitas sentral (visceral) yang penetapannya paling baik dengan mengukur lingkar pinggang ( waist circumference).Untuk orang Asia, bila lingkar perut > 90 cm bagi pria dan > 80 cm bagi wanita maka sudah dikatakan obesitas sentral. Kejadian PCOS 50-60% diantaranya adalah obesitas dan 75% diantaranya adalah gizi berlebih (overweight) (Djuwantono,2010)
2.1 Pengertian PCOS
PCOS merupakan gangguan fungsional dari poros hipotalamus-hipofisis ovarium berkaitan anovulasi. Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara gonadotropin dan steroid seks. PCOS merupakan masalah kesehatan yang mempengaruhi: Siklus menstruasi, kemampuan untuk mendapatkan keturunan, hormone seks, jantung dan pembuluh darah serta penampilan wanita. Tanda klinis PCOS adalah ditemukan banyak kista dalam ovarium. Hal ini terjadi karena ovarium memproduksi hormone androgen secara berlebihan, dan bisa terjadi karena faktor genetic (HHS, 2010).
2.2 Etiologi PCOS
PCOS diakibatkan karena resistensi insulin dan Obesitas merupakan kunci adanya sindroma resistensi insulin (Hadibroto, 2005). Resistensi insulin adalah ketidakmampuan insulin untuk menjalankan fungsi fisiologisnya. Manifestasi dapat bersifat perifer (pada jaringan) atau sentral (pada liver) akibat berkurangnya kemampuan insulin untuk menurunkan gula darah. Resistensi insulin menyebabkan hiperinsulinemia yang akan menyebabkan metabolism androgen yang abnormal, mengganggu pertumbuhan folikel dan mengubah respon gonadotropin (Wiweko, 2008). Hormone androgen yang tinggi akan menganggu pertumbuhan folikel (Jarret Fertility group, 2006) dan keluarnya ovum saat ovulasi (HHS, 2010).

Gambar 2.2.1 mekanisme resistensi insulin dan PCOS
2.3 Tanda dan Gejala PCOS
Pada jangka pendek, PCOS akan menyebabkan disfungsi reproduksi sedangkan jangka panjang akan menyebabkan disfungsi metabolik. Gambaran utama pasien PCOS adalah haid yang tidak teratur (oligomenorrhae hingga amenorrhae), anovulasi kronik karena adanya kista, infertilitas serta gejala akibat tingginya kadar androgen yaitu hirsutism, jerawat bahkan dapat timbul pola alopesia. Hirsutism adalaha keadaan munculnya bulu-bulu kasar pada wanita seperti pada pola pertumbuhan pada laki-laki yakni di atas bibir, dagu, dada, abdomen bagian atas dan punggung (Hadibroto, 2005).
Pada keadaan amenorrhea sebenarnya tidak terjadi kekurangan estrogen justru endometrium mendapat paparan estrogen terus menerus hingga pertumbuhan endometrium mengalami kekurangan terhadap suplai darah dan menyebabkan menorrhagia (pendarahan). Kejadian amenorrhea mengindikasikan adanya peningkatan signifikan amplitude dan frekuensi pelepasan LH terhadap pelepasan FSH. Peningkatan pelepasan LH menunjukan terjadinya peningkatan GnRH berarti terjadi defek di hipotalamus (Wiweko, 2008).
2.4 Patofisiologi
2.4.1 Hubungan Resistensi Insulin Dengan PCOS
Folikel di dalam ovarium terdiri atas 2 sel yaitu sel theca dan sel granula. Sel theca berfungsi untuk mengangkut kolesterol keluar dari aliran darah dan mengubahnya menjadi androstenedione, androgen yang lemah. Oleh sel granula diubahnya nadrosteneidione menjadi estrogen kemudian menjadi estradiol, estrogen yang kuat.
Bila penderita mengalami PCOS karena masalah genetik, tingginya kadar insulin dirangsang oleh enzim yang disebut cytochrome P450c 17-α baik pada ovarium maupun adrenal untuk meningkatkan produksi hormone androgen. Peningkatan hormone androgen berasal dari ovarium dan kelenjar adrenal, oleh karena itu dengan mengangkat ovarium tidak akan menyelesaikan masalah PCOS.
Tingginya kadar insulin darah juga dirangsang oleh kelenjar pituitary yang meningkatkan produksi LH, tingginya kadar LH juga akan merangsang enzim yang sama yaitu cytochrome P450c 17α untuk memproduksi lebih banyak lagi hormone androgen tetapi hanya di ovarium tidak di kelenjar adrenal. Peningkatan LH awalnya akan meningkatkan kesensitivitas folikel untuk berkembang, namun hanya berlangsung hingga ukuran diameter folikel 8 mm. Setelah itu, perkembangan/maturasi folikel tidak berlangsung akibat tingginya kadar androgen.

Gambar 2.4.1 insulin merangsang sekresi hormone androgen pada ovarium dan adrenal
2.4.2 Mekanisme Kista Dapat Tumbuh Dalam Ovarium
Ketika tidak terjadi ovulasi, sel theca dan sel granulosa mengalami apoptosis yaitu penghancuran terhadap diri sendiri. Sel granulosa pada penderita PCOS mengalami penghancuran terhadap diri sendiri (self destruction) secara normal setelah terjadi kegagalan ovulasi, tetapi tidak pada sel theca, sel theca tetap bertahan karena adanya insulin yang mencegahnya melalui mekanisme pembentukkan kista. Setelah kegagalan ovulasi dan kematian sel granula, sel theca secara terus menerus memproduksi androstenedione, karena tidak sel granulose yang mengubah androsteneidione menjadi estrogen maka androstenedione oleh sel theca diubah menjadi testosteron (Kidson, 2006).

Gambar 2.4.2 Perkembangan Folikel Pada Wanita Normal Dan Wanita PCOS
2.5 Pemeriksaan PCOS
Tidak ada pemeriksaan tunggal yang dapat langsung mendiagnosa penyakit PCOS. Berikut beberapa step yang dilakukan oleh HHS dalam mendiagnosa PCOS :
1. Medical History : periode menstruasi, kenaikan berat badan dan gejala lainnya.
2. Physical Exam : pengukuran tekanan darah, BMI dan Waist Circumference. Juga mengecek area mana saja terjadi peningkatan pertumbuhan rambut.
3. Pelvic Exam : pemeriksaan jumlah folikel dan volume ovarium. Bila terjadi nyeri mengindikasikan ovarium membesar/membengkak akibat jumlah kista yang banyak (>12)
4. Blood Tests : pengukuran hormone androgen dan kadar glukosa darah
5. Vaginal Ultrasound (sonogram) : gambaran di area pelvic, pengecekkan terhadap kista di ovarium dan tebal endometrium-endometrium akan semakin tebal bila periode menstruasi tidak teratur.


Gambar 2.5.1 PCOS melalui pemeriksaan ultrasound

Gambar 2.5.2 Pertumbuhan folikel yang abnormal. Pada PCOS, folikel dalam kondisi stack up atau tidak dapat berkembang, yang diakibatkan karena tingginya kadar hormone androgen. Hormone androgen seperti barier terhadap perkembangan folikel
Pemeriksaan hormonal : meupakan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan hormonal mengindikasikan adanya kelainan endokrin. Berikut beberapa hormone yang diperiksa :
1. Ratio LH/FSH, bila ≥ 2 menunjukkan adanya PCOS
2. Kadar progesterone, bila ≥ 200 ng/dL mengkonfirmasikan diagnose PCOS
3. Kadar testosterone, bila ≤150 ng/dL banyak didapati pada penderita PCOS
4. Prolaktin, 5-30% penderita PCOS mengalami hiperprolaktinema
5. Kadar glukosa darah/ratio insulin, bila < 7, menunjukkan adanya resistensi insulin (Hadibroto, 2005)
2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan terapi adalah menghilangkan gejala dan tanda hiperandrogen, mengembalikan siklus menstruasi menjadi normal, meningkatkan kesuburan, dan menghilangkan gangguan metabolism yang terjadi (Hadibroto, 2005). Level Insulin dapat diturunkan melalui olahraga, diet, penurunan BB dan obat diabetes. Level Insulin dapat meningkat akibat stress, kurangnya aktifitas, peningkatan BB dan pengaruh hormonal.
1. Lifestyle modification: yang mengalami PCOS adalah wanita-wanita yang memiliki berat berlebih atau obese. Dengan memperbaiki pola hidup melalui keseimbangan aktifitas fisik dan makanan yang sehat untuk menurunkan kadar glukosa darah, meningkatkan kegunaan insulin dan menormalkan hormone-hormon tubuh. Dengan modifikasi pola hidup dapat menurunkan resiko terjadinya komplikasi. Pola hidup yang dianjurkan adalah : tidak merokok, makan makanan sehat dan aktifitas fisik.
2. Birth control pills (progesterone)Untuk wanita yang sedang melakukan program KB, pil ini dapat digunakan untuk mengontrol siklus menstruasi, menurunkan hormone androgen, dan menghilangkan jerawat. Yang perlu diperhatikan bila pil ini dihentikan makan siklus menstruasi kembali tidak teratur. Kelemahan pil ini tidak mengatasi masalah kelebihan rambut-rambut kasar.
3. Diabetes medications menggunakan metformin. Metformin digunakan untuk mengontrol glukosa darah dan menurunkan produksi hormone androgen. Metformin juga memperlambat pertumbuhan rambut-rambut kasar yang abnormal.
4. Fertility medications. Efek penggunaan obat-obat kesuburan adalah meningkatkan resiko kelahiran kembar. Pengobatan yang biasanya digunakan adalah :
a. Clomiphene : merangsang ovulasi
b. Metformin : membantu clomiphene untuk merangsang ovulasi
c. Suntikan gonadotropin
5. Surgery : “Ovarian drilling" adaah pembedahan yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya ovulasi, biasanya dilakukan bila pasien tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan kesuburan (fertility medications). Pembedahan dilakukan secara laparoskopi. Tujuan pembedahan adalah menghancurkan kista untuk membantu ovulasi dan menurunkan hormone androgen. Kelemahan metode ini adalah dapat menimbulkan jaringan parut dan tidak mengatasi masalah alopesia dan hirsutism.
6. Medicine for increased hair growth or extra male hormones atau disebut anti androgen, dapat menurunkan pertumbuhan rambut yang abnormal dan menghilangkan jerawat. Dalam penggunaannya biasanya dikombinasikan dengan birth control birth, dan tidak digunakan bila pasien sedang dalam program kehamilan (HHS, 2010).
2.7 Terapi Diet
Olahraga merupakan metode yang paling efektif dalam penurunan kadar insulin. Diet dan penurunan berat badan juga dapat untuk menurunkan kadar insulin dan karenanya dapat meningkatkan ovulasi dan konsepsi pada PCOS. Dengan menurunkan berat badan sebanyak 3-5 kg mampu mengembalikan siklus menstruasi menjadi teratur kembali dan menyukseskan ovulasi serta fertilisasi. Kunci kesuksesan treatment adalah dengan berolahraga secara teratur.
Jika wanita dengan PCOS adalah overweight, maka penting untuk menurunkan kalori food intake. Pilihlah karbohidrat kompleks dan berGI rendah , sehingga hanya akan merangsang sedikit produksi insulin dibandingkan karbohidrat ber GI tinggi. Namun pada beberapa kasus, tidak terjadi penurunan BB walaupun pasien telah mengurangi asupan karbohidratnya (Kidson, 2006)

BAB III
3.1 Kesimpulan
• Dasar Penatalaksanaan penderita PCOS adalah menghilangkan gejala dan tanda hiperandrogen, mengembalikan siklus menstruasi menjadi normal, meningkatkan kesuburan, dan menghilangkan gangguan metabolism yang terjadi
• Penatalaksanaan penderita PCOS dalam bidang ilmu gizi adalah modifikasi pola hidup melalui keseimbangan aktifitas fisik dengan makanan dan tidak merokok.
• Modifikasi pola hidup bertujuan untuk menurunkan kadar insulin di darah, sehingga dapat terjadi ovulasi dan mengembalikan siklus menstruasi.
3.2 Saran
• Perlu adanya monitoring dan evaluasi berkelanjutan terhadap modifikasi diet terkait tanda dan gejala PCOS

Daftar Pustaka
Djuwantono, Tono. 2010. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. Isu terkini penanganan tepat dampak metabolik Sindroma Polikistik Ovarium. Diakses melalui http://repository.unpad.ac.id/bitstream/handle/123456789/727/isu_terkini_penanganan_yang_tepat1.pdf?sequence=2 pada 2 November 2011.
Hadibroto, Budi R. 2005. Sindroma Ovarium Poikistik. Diakses melalui http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/15588/1/mkn-des2005-%20(11).pdf, pada 2 november 2011.
Health and human resources (HHS). 2008. Poliycystic Ovary Syndrome (PCOS) booklet: Beyond Infertility. Diakses melalui http://www.nichd.nih.gov/publications/pubs/upload/PCOS_booklet.pdf, pada 2 november 2011
Health and human resources (HHS). 2010. Poliycystic Ovary Syndrome (PCOS). Diakses melalui http://www.womenshealth.gov pada 2 November 2011.
Jarret Fertility Group. 2006. Polycystics Ovarium Syndrome Patient Handout. Diakses melalui http://www.jarrettfertility.com/PCOS%20patient%20handout.pdf pada 2 november 2011
Kidson, Warren; James Wackenzie Talbot. 2006. The Polycystics Ovary Syndrome-A Starting Point Not A Diagnosis. Diakses melalui http://main.posaa.asn.au/files/PCOS%20Guide.pdf, pada 2 november 2011
Wiweko, B; R Mulya. 2008. Profil Resistensi Insulin Pada Pasien Sindrom Ovarium Polikistik di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta. Diakses melalui http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/322089398%20ta%20ada%20h%2096%2097.pdf, pada 2 november 2011


Penatalaksanaan Penderita PCOS (Polycystics Ovarium Syndrome) terkait Ilmu Gizi




Program Studi Ilmu Gizi Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang, 2011
 
Copyright (c) 2010 Notes Online Rully and Powered by Blogger.